Ke-NU-an


BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Dari segi bahasa, ahlussunnah berarti penganut sunnah Nabi, sedangkan ahlul jama’ah berarti penganut kepercayaan jama’ah para sahabat Nabi. Karena itu, kaum “Ahlussunnah wal Jama’ah” adalah kaum yang menganut kepercayaan yang dianut oleh Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya. Kepercayaan Nabi dan sahabat-sahabatnya itu telah termaktub dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi.
Ahlussunnah wal Jama’ah secara substantif adalah kelompok yang setia terhadap Sunnah, dengan menggunakan manhaj berpikir mendahulukan nashs daripada akal. Sebagai gerakan, sebelum diinstitusikan dalam bentuk mazhab, kelompok ini melakukan pembaruan paham keagamaan Islam agar sesuai dengan sunnah atau ajaran murni Islam, sehingga orang Barat menyebut Ahlussunnah wal Jama’ah dengan orthodox Sunni school.
NU mendasarkan faham keagamaan kepada sumber ajaran Islam Alquran, Al Hadits, Al Ijma’ dan Al Qiyas dalam memahami dan menafsirkan Islam dari sumber tersebut. NU mengikuti pendirian bahwa, Islam adalah agama yang fitri, yang bersifat menyempurnakan segala kebaikan yang sudah dimiliki manusia. Faham keagamaan yang dianut oleh NU bersifat menyempurnakan nilai nilai yang baik yang sudah ada dan menjadi ciri ciri suatu kelompok manusia, seperti suku maupun bangsa dan tidak bertujuan menghapus nilai nilai tersebut. Dasar dasar pendirian keagamaan NU menumbuhkan sikap kemasyarakatan yang bercirikan pada : Sikap tawasuth dan i’tidal, tasamuh dan tawazun.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, penulis akan membatasi penulisan makalah ini dengan rumusan: (1) mendiskripsikan konsep Ahlussunnah Wal Jama'ah menurut NU; (2) mengidentifikasi usaha Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan dan mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah; (3) menjabarkan usaha NU dalam mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah; (4) menjelaskan pengertian sistem bermadzhab; (5) menjelaskan pentingnya sistem bermadzhab dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam; (6) Mengenal Madzhab-Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Menurut NU.

C.    Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini antara lain untuk: (1) mendiskripsikan konsep Ahlussunnah Wal Jama'ah menurut NU; (2) mengidentifikasi usaha Nahdlatul Ulama dalam mempertahankan dan mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah; (3) mengetahui usaha nu dalam mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah; (4) menjelaskan pengertian sistem bermadzhab; (5) menjelaskan pentingnya sistem bermadzhab dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam; (6) mengenal madzhab-madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah menurut NU.
BAB II
PEMBAHASAN

A.    Mendiskripsikan Konsep Ahlussunnah Wal Jama'ah Menurut NU
Secara umum para ulama’ Nahdlatul Ulama’ mengartikan Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam dua pengertian, yaitu:
  1. Ahlussunnah Wal Jama’ah sudah ada sejak zaman Nabi, sahabat nabi dan tabi’in yang biasanyadisebut dengan “As-Salafus Sholeh”. Pendapat ini didasarkan pada pengertian bahwa Ahlussunnah Wal Jama’ahberati golongan yang setia kepada “Assunnah dan Al-jama’ah” yaitu Islamyang diajarkan dan diamalkan oleh Rasulullah SAW bersama para sahabatnya pada zaman Nabi masih hidup dan apa yang dipraktikkan para sahabat setelah sepeninggal beliau, terutama khulafaur rasyidin. Dari pengertioan ini Ahlussunnah Wal Jama’ah dirumuskan sebagai golongan yang senantiasa setia mengikuti sunnah Nabi SAW dan tariqah atau petunjuk dari para Sahabatnya dalam aqidah, fiqih dan tasawuf. Mereka terdiri dari ahli kalam (mutakallimin), ahli fiqih (fuqoha’), ahli hadits (muhadditsin), dan ulama’ tasawuf (shufiyah).
  2. Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah paham keagamaan yang baru muncul setelah Imah Abu Hasan Al-Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al-Maturidi  merumuskan aqidah Islam yang sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Oleh karena itu, kaum Ahlussunnah Wal Jama’ah disebut sebagai kaum “as-Syari’ah” dan”Maturidiyah”. Maksudnya adalah pengikut imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan imam Abu Mansur Al-Maturidi dalam bidang aqidah. Imam Az-Zabidi mengatakan:
اِذَااُطْلِقَ اَهْلُ السُنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُبِهِ اْلاَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِدِيَّةُ

Artinya: Apabila disebut Ahlussunnah Wal Jama’ah maka maksudnya adalah As-Syari’ah (golongan yang ikut imam Abu Hasan Al-Asy’ari) dan Al-Maturidiyah (golongan yang ikut imam Abu Mansur Al-Maturidi).

Akan tetapi dalam perkembangan selanjutnya makna Ahlussunnah Wal Jama’ah dilingkungan Nahdlatul Ulama’ dirumuskan sebagai “golongan yang dibidang aqidah mengikuti paham yang dipelopori oleh imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dibidang fiqih mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan bidang tasawuf mengikuti imam Junaid Al-Baghdadi, imam Al-Ghazali.
Pengertian ini dimaksudkan untuk melestarikan, mempertahankan, mengamalkan dan mengembangkan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah. Nahdlatul ulama’ berpendirian bahwa dengan mengikuti madzhab yang jelas metode (m`nhaj) dan pendapat (aqwal), maka warga NU akan lebih terjamin berda dalam jalan yag lurus.

B.     Mengidentifikasi Usaha Nahdlatul Ulama Dalam Mempertahankan dan Mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah
Nahdlatul Ulama’ didirikan oleh para ulama’ pondok pesantren yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah. Semula para ulama’ pengasuh pondok pesantren berjuang sendiri-sendiri, belum ada wadah yang mempersatukan gerakan mereka. Hubungan antara mereka berlangsung melalui silaturrahim dalam beberapa acara seperti haul, imtihan (tutup tahun pelajaran), walimah (resepsi/kenduri) dan sering kali dipererat dengan besanan (saling mengambil menantu).
Kehadiran NU dimaksudkan sebagai wadah untuk mempersatukan diri dan perjuangan dalam tugas memelihara, melestarikan, mengembangkan, meneguhkan, dan mengamalkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia. Halini merupakan jawaban atas unculnya gerakan yang mengancam kelangsungan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah yang sudah menjadi keyakinan umat Islam Indonesia sejak awal pertumbuhan dan perkembangan Islam.
Gerakan yang menanamkan diri sebagai kelompok “Pembaru” ini banyak dipengaruhi oleh paham wahabi yang didukung oleh penguasa baru di Saudi Arabia. Mereka sangat berlebihan dalam usaha pemurnian ajaran Islam, seperti: melarang upacara mauludan, membaca barzanji, dibaiyah, tahlilan, haul, ziarah kubur ke makam Nabi, para syuhada’, para auliya’ dan melarang bermadzhab dalam mengamalkan ajaran agama Islam.
Para ulama’ pengasuh pondok pentren yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah menolak keras terhadap paham baru tersebut. Mereka berusaha keras membela dan mempertahankan kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah sehingga tidak jarang terjadi perdebatan secara terbuka untuk menguji kebenaran masing-masing menyangkut ajaran Islam yang sebenarnya dalam setiap perdebatan.
Ternyata hujjah (alasan) yang menjadi pegangan para ulama’ pondok pesantren lebih unggul (rajah) disbanding kelompok pembaruan, karena benar-benar dibangun berdasarkan kemurnian ajaran agama Islam.
Puncak dari kesungguhan para ulama’ pondok pesantren dalam mempertahankan, melestarikan, mengembangkn dan meneguhkan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia adalah kesepakatan mereka untuk mendirikan Jam’iyah diniyah ijtima’iyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan) yang diberi nama Nahdlatul Ulama’. Dengan berdirinya NU, upaya menangkal pengaruh berbagai paham atau aliran yang secara terang-terangan mengancam keberlangsungan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dilakukan secara bersama-sama, terorganisasi (berjam’iyah) dan terarah.
Para ulama’ pendiri Nahdlatul Ulama’ bersama-sama dengan para ulama’ pengasuh pondok pesantren yang diikuti oleh para santrinya masing-masing memantapkan diri untuk menjaga kemurnian ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di tengah-tengah keadaan (kondisi) dan perkembangan kehidupan kepanpun, dimanapun, dan dalam kedaan apapun. Dengan demikian sampai sekarang paham Ahlussunnah Wal Jama’ah tetap menjadi milik dan dianut sebagian besar masyarakat Islam Indonesia.
Dalam semua hal, baik aqidah, ibadah, maupun mu’amalah praktik (amaliah) keagaam Islam tetap dalam garis ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah yang telah diajarakn oleh para mubaligh Islam baik melalui pengajian rutin di Musholla, masjid, ceramah umum, maupun lembaga-lembaga pendidikan seperti pesantren dan madrasah/sekolah yang didirikan oleh warga NU.

C.    Usaha NU Dalam Mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah
Ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah ajaran atau paham keagamaan NU yang digali langsung dari sumber-sumber ajaran Islam, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, Al-Ijma’, dan Qiyas sebagai paham keagamaan, maka Ahlussunnah Wal Jama’ah merupakan landasan berfiki, bersikap dan bertindak bagi sleuruh warga NU yang dicerminkan dalam tingkah laku perorangan maupun organisasi. Landasan tersebut menjadi dasar semua urusan, baik dalam hubungan dengan Allah SWT (hablum Minallah) maupun hunbungan dengan sesame manusia (Hablum Minannas) serta hubungan dengan semesta Alam.
Hubungan-hubungan tersebut dibangun dalam satu tatanan kehidupan yang menjamin tegakny akhlkul karimah dan martabat kemanusiaan. Disamping itu jiwa dan semangat amar ma’ruf nahi munkar yang dilandasi persaudaraan sejati (al-Ukhuwwah), persamaan (al-Musawah), keadilah (al-Adalah) menjadi dasar perjuangan untuk menegakkan agama Allah dan nilai-nilai kemanusiaan.
Sesudah berdirinya NU, usaha mempertahankan, melestarikan, meneguhkan dan mengembangkan ajaran selain Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah di Indonesia dilkukan dengan berbagai cara, diantaranya adalah:
  1. Meneliti kitab-kitab yang menjadi pegangan dalam pembelajaran agama Islam di pondok pesantren, madrasah/sekolah yang didirikan oleh warga NU.
  2. Menerbitkan buku-buku pelajaran agama sebagai bacaan bagi  seluruh umat Islam
  3. Meningkatkan kegiatan pengajian dan melakukan kajian-kajian keislaman dalam bentuk halaqah, bahtsul masa’il, diskusi, seminar dan lain-lain.
  4. Melestarikan amaliyah yang telah dirintis oleh para pedahulu yang membawa dan menyebarkan Islam di Indonesia, seperti: melaksanakan shalat ghaib bagi seluruh warga NU yang telah meninggal dunia pada acara lailatul ijtima’, membaca maulidad-diba’iyah (mengadakan diba’an) secara rutin. Menggiatkan hadrah (membaca shalawat Nabi diiringi dengan rebana) baik di masjid, mushollah maupun rumah-rumah penduduk. Membaca tahlil (tahlilan) setiap malamjum’at tau pada hari-hari tertentu untuk berkirim do’a kepada orang-orang yang meninggal dunia, dan lain-lain.
Kegiatan-kegiatan yang diuraikan diatas menunjukkan kesungguhan NU dan seluruh warganya untuk meningkatkan pemahaman dan pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah dalam semua seginya, baik aqidah, ibadah, muamalah, maupun masalah-masalah kemasyarakatan, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain. Dengan demikian diketahui bahwa sejak berdirinya sampai sekarang bahkan sampai kapanpun usaha-usaha yang dilakukan NU tetap dibangun dan dikembangkan untuk mencapai tujuan utamanya, yaitu: ”Melestarikan, meneguhkan dan mengembangkan Islam Ahlussunnah Wal Jama'ah".

D.    Menjelaskan Pengertian Sistem Bermadzhab
Bermadzhab pada dasarnya ialah mengikuti ajaran atau pendapat Imam Mujtahid yang diyakini mempunyai kewenangan berijtihad. Menurut Prof. Dr Said Ramadlan Al-Buthi, bermadzhab didefinisikan sebagai berikut:
اَلْمَذْهَبِيَّةُ هِيَ اَنْ يُقَلِّدُ الْعَامِّيُ اَوْ مَنْ لمَْ يَبْلُغْ رُتْبَةُ اْلاِجْتِهَادِ مَدْهَبَ اِمَامَ مُجْتَهِدٍ سَوَاءٌ اِلْتِزَامًا لِوَاحِدٍبِعِيْنَةِ اَوْعَاشَ يَتَحَوَّلُ مِنْ وَاحِدٍ اِلَى اَخَرَ
Artinya: “mengikuti orang awan atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad kepada pendapat atau ajaran seorang imam Mujtahid baik secara terus menerus atau berpindah-pindah dari seorang mujtahid kepada seorang mujtahid yang lain”.

Dari pengertian tersebut diketahui bahwa dalm bermadzhab terdapat dua pihak, yaitu: pihak-pihak yang diikuti pendaptnya atau diikuti hasil ijtihadnya, yaitu para Imam Mujtahid dan pihak yang mengikuti pendapat atau hasil ijtihad Imam Mujtahid. Mereka adalah orang awam yang tidak mempunyai keahlian di bidang agama yang justru merupakan mayoritas masyarakt Muslim di seluruh dunia. Dalam praktik bermadzhab mereka dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu:
1.      Bermadzhab kepada imam tertentu secara terus menerusdalam segala masalaha (ibadah, muamalah, munakahah, dan lain-lain) dan tidak berkeingin untuk pindah madzhab. Cara ini sudah berlangsung sejak zaman sahabat, tabi'in dan seterusnya. Meskipun demikian tidak ada keharusan bagi seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu saja. Artinya, jika terdapat alas an yang kuat, seperti keadaan darurat dan tidak mampu melaksanakan fatwa madzhabnya, maka diperbolehkan mwngikuti madzhab lain.
2.      Bermadzhab kepada imam tertentu tetapi tidak secara terus menerus atau tidak dalam segala masalah. Misalnya dalam masalah ibadah mengikuti madzhab syafi'I, tetapi dalam masalah muamalah mengikuti madzhab hanafi atau madzhab maliki.
Disamping itu, dalam pelaksanaannya ada dua macam cara bermadzhab, yaitu:
  1. Bermadzhab secara qauli, yaitu mengikuti madzhab sebagai aqwal (ucapan, pendapat hasil ijtihad). Bermadzhab dengan cara ini merupakan keharusan bagi orang awam. Adapun aqwal para mujtahid dapat ditemukan dalam kitab-kitab mu'tabarah (klitab yang patut diperhitungkan dan dapat dipertanggungjawabkan) dan atau didengar dari keterangan atau fatwa para ulama' yang mu'tabar. Dalam hal menerima aqwal yang bersumber dari para mujtahid ini, seseorang dianjurkan untuk menanyakan hujjah yang menjadi dasar aqwal tersebut.
  2. Bermadzhab secara manhaji, artinya mengikuti madzhab sebagai metode berpikir/berijtijad untuk menemukan suatu hokum. Bermadzhab dengan cara ini hanya dapat dilakukan oleh mereka yang sudah memenuhi persyaratan untuk berijtihad sendiri meskipun belum mencapai tingkat mujtahid mutlaq mustaqil (mujtahis bebas mandiri). Bermadzhab manhaji juga bisa dilakukan dengan cara intinbath ijma'i, artinya upaya mendapatkan suatu hukum secara bersama oleh beberapa orang. Dan hanya diterapkan terhadap hal-hal yang tidak ditemukan aqwalnya dalam madzhab empat. Sedangkan terhadap hal-hal yang ditemukan aqwalnya tetapi masih diperselisihkan, bias dilakukan taqriri jama'I (penetapan secara kolektif.

E.     Menjelaskan Pentingnya Sistem Bermadzhab dalam Memahami dan Mengamalkan Ajaran Islam
"Bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan ijtihad apabila menghadapi masalah far'iyah maka ada dua kemungkinan yang akan dialakukan; pertama, dia tidak melakukan apa-apa karena tidak mengerti hukumnya. Dan sikap demikian tidak lazim bahkan tidak boleh. Kedua, dia melakukan sesuatu dengan mencari dalil yang menetapkan hokum tersebut atau dengan cara taklid"

Mengikuti madzhab merupakan pilihan yang paling mungkin dan paling masuk akal (rasional) yang dapat memberi jalan bagi seseorang yang belum mencapai tingkatan mujtahid untuk melaksanakan perintah-perintah agama dengan mudah dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Bagi warga NU bermadzhab merupakan pilihan yang tepat untuk memahami dan mengamalkan hokum Islam.
Oleh karena itu, harus disyukuri bahwa pada abad kedua Hijriyah Allah SWT telah melahirkan mujtahid-mujtahid besar yang telah merumuskan jawaban berbagai masalah hokum Islam yang amat luas dan banyak ragamnya, kemudian hasil pemikirannya (aqwalnya) menjadi madzhab yang diikuti oleh seluruh umat Islam sampai sekarang. Maka tidak ada pilihan bagi umat Islam yang hidup dewasa ini kecuali bermadzhab dengan mengikuti tuntunan salah satu madzhab yang tepat.
Ada fungsi dan kegunaan mengikuti madzhab dalam kaitannya dengan pelaksanaan syari'at Islam, antara lain:
1.      Bermadzhab memudahkan bagi umat Islam untuk mempelajari ajaran Islam dengan dan mengetahui hokum-hukum suatu perbuatan.
2.      Bermadzhab dapat menyelamatkan umat Islam dari penyimpangan, salah tafsir dan kekeliruan dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam.
3.      Bermadzhab dapat membatasi meluasnya  perbedaan pendapat dikalngan umat Islam. Artinya dengan bermadzhab, maka umat Islam seluruh dunia hanya dikelompokkan dalam empat golongan besar, yaitu Madzhab Hanafi, Maliki, Syafi'I dan Hambali yang selama berabad-abad telah dibuktikan oleh sejarah tidak pernah terjadi pertikaian satu sama lain.
Akhirnya, bermadzhab pada hakikatnya tidak berarti meninggalkan Al-Qur'an dan Al-Hadits karena keduanya merupkan sumber pengambilan hokum ulama bermadzhab. Oleh karena itu bermadzhab berarti menggunakan cara beristimbath hokum yang dipergunakan oleh para mujtahid berikut sumber hukumnya dan sekaligus mengikuti pendapat-pendapatnya.

F.     Mengenal Madzhab-Madzhab Ahlussunnah Wal Jama'ah Menurut NU
Rumusan dasar-dasar faham keagaan NU dalam "Khittah Nahdliyah" mengatakan bahwa "Nahdlatul Ulama menggunakan jalan pendekatan (al-madzhab); dibidang fiqih mengikuti salah satu madzhab empat".berdasarkan pernyataan tersebut, dikalangan NU tidak berlaku madzhab selain mengikuti salah satu madzhab Hanafi, Maliki, syafi'i, dan Hambali tanpa meemehkan keberadaan madzhab-madzhab yang lain.
Setidaknya ada lima alasan yang melandasi pertimbangan NU dalam menetapkan system bermadzhab pada empat madzhab tersebut, yaitu:
  1. Manhaj atau metode dan pendapat-pendapat dari empat madzhab tersebut terbukakan secara lengkap dan tertib.
  2. Keempat madzhab tersebut sudah berabad-abad diterima dan diikutio oleh mayoritas umat Islam diseluruh dunia.
  3. Empat madzhab tersebut telah terbukti tahan uji dalam menghadapi kritik dan koreksi terbuka sepanjang perjalanan sejarahnya.
  4. Empat madzhab tersebutdikenal lentur dan flekasibel dalam menghadapi tantangan dan perkembangan zaman.
  5. Adanya keyakinan bahawa manhaj dan pendapat dari keempat madzhab tersebut bersumber dari Al-Qur'an dan Al-Hadits sehingga dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya.
Disamping itu, system bermadzhab yang dianut oleh NU dengan membatasi keempat madzhab tersebut memiliki nilai lebih dan dapat membentuk kepribadian organisasi dengan prinsip-prinsip:
  1. Menggunakan Al-Qur'an dan Al-Hadits sebagai acuan dalam upaya memehami dan mengamalkan ajaran agama.
  2. Berpijak kepada kebenaran seseuai dengan tuntunan Rasulullah, para sahabat dan As Salafus Shaleh.
  3. Kontinuitas ijtihad sebagaimana disiratkan oleh konsep Al-Qur'an, Assunnah dan ijtihad denagn berpegang teguh pada prinsip:
  4. Toleransi dalam perbedaan pendapat sesuai dengan ketentuan dalam sebuah ahdits:
  5. Moderasi (tawassuth) artinya tengah-tengah dalam sikap dan pandangannya.
  6. Solidaritas dan kesatuan umat dalam jama'ah.
















BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Dari pembahasan tersebut diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahawa:
1.      Ahlussunnah Wal Jama'ah dirumuskan sebagai “golongan yang dibidang aqidah mengikuti paham yang dipelopori oleh imam Al-Asy’ari dan Al-Maturidi, dibidang fiqih mengikuti salah satu madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), dan bidang tasawuf mengikuti imam Junaid Al-Baghdadi, imam Al-Ghazali.
2.      Nahdlatul Ulama berusaha mempertahankan dan mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah dengan cara mendirikan Jam’iyah diniyah ijtima’iyah (organisasi keagamaan dan kemasyarakatan) yang diberi nama Nahdlatul Ulama’. Dengan berdirinya NU, upaya menangkal pengaruh berbagai paham atau aliran yang secara terang-terangan mengancam keberlangsungan paham Ahlussunnah Wal Jama’ah dilakukan secara bersama-sama, terorganisasi (berjam’iyah) dan terarah.
3.      NU berusaha mengembangkan Ahlussunnah Wal Jama'ah dalam semua seginya, baik aqidah, ibadah, muamalah, maupun masalah-masalah kemasyarakatan, ekonomi, kebudayaan dan lain-lain.
4.      Sistem bermadzhab dapat diarikan dengan mengikuti orang awan atau orang-orang yang tidak mencapai kemampuan ijtihad kepada pendapat atau ajaran seorang imam Mujtahid baik secara terus menerus atau berpindah-pindah dari seorang mujtahid kepada seorang mujtahid yang lain”.
5.      Sistem bermadzhab dalam memahami dan mengamalkan ajaran Islam pada hakikatnya tidak berarti meninggalkan Al-Qur'an dan Al-Hadits karena keduanya merupkan sumber pengambilan hokum ulama bermadzhab. Oleh karena itu bermadzhab berarti menggunakan cara beristimbath hokum yang dipergunakan oleh para mujtahid berikut sumber hukumnya dan sekaligus mengikuti pendapat-pendapatnya.
6.      Nahdlatul Ulama menggunakan jalan pendekatan (al-madzhab); dibidang fiqih mengikuti salah satu madzhab empat".berdasarkan pernyataan tersebut, dikalangan NU tidak berlaku madzhab selain mengikuti salah satu madzhab Hanafi, Maliki, syafi'i, dan Hambali tanpa meemehkan keberadaan madzhab-madzhab yang lain.

B.     Saran-Saran
Dengan selesainya penulisan makalah ini, penulis menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidaklah sesempurna dengan apa yang kita harapkan. Sehingga penulis mengharapkan saran dan kritik konstruktif untuk penulisan makalah selanjutnya.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tujuan Kurikulum

Pendidikan Agama Islam Masa Dinasti Abbasiyah

SPPKB